Perhelatan munas kahmi ke XI sudah usai. Alhamdulilah seluruh proses munas dijalankan dengan cukup lancar.
Bersyukur tidak ada kericuhan berarti selama Munas KAHMI.
Karena itu layak kita ucapkan selamat untuk seluruh peserta, panitia pusat juga daerah dan tentunya Pemprov Sulteng, Pemkot Palu serta keluarga besar HMI, KAHMI di Sulawesi. Meski begitu, tentu ada kritik. Utamanya tentang hasil munas KAHMI.
Selain menentukan kebijakan arah gerak organisasi, munas KAHMI telah menghasilkan 9 nama warga Kahmi sebagai presidium Majelis Nasional Kahmi. mereka yang terpilih adalah Ahmad Doli Kurnia, Ahmad Yohan, Herman Khaeron, Saan Mustopa, M Rifqinizami, Abdullah Puteh, Romo HR Moh Syafii, Zulfikar Arse, dan Sutomo.
Hasil munas ini cukup mengejutkan, mengingat dua hal.
Pertama, background anggota presidium majelis nasional kahmi yang terpilih hampir semuanya sama yaitu anggota DPR RI/ DPD RI.
Kedua, tidak ada satu pun perempuan dalam presidium terpilih majelis nasional kahmi.
Hasil ini menjadi anomali karena tidak sejalan dengan pengaturan pasal 9 anggaran rumah tangga KAHMI yang berbunyi, “Presidium Majelis Nasional terdiri dari 9 (sembilan) orang, sedapat mungkin mencerminkan kewilayahan dan kompetensi atau profesi anggota KAHMI”.
Jika diperluas, terjemah kalimat *mencerminkan kewilayahan dan kompetensi atau profesi* ini adalah keinginan kahmi secara konseptual untuk menghormati berbagai golongan yang ada dalam keanggotaan Kahmi.
Sayangnya keinginan itu tidak tercerminkan dalam hasil munas ini.
Anomali lainnya juga terlihat dari diabaikannya semangat kesetaraan gender yang telah lama diperjuangkan oleh para pegiat HAM, yang banyak diantaranya juga adalah alumni HMI.
Hasil munas ini akhirnya menggugat kepekaan warga Kahmi terhadap konsep afirmatif berdasar gender karena tidak ada satupun perempuan yang terpilih sebagai presidium majelis nasional kahmi.
Padahal dalam daftar calon presidium tercatat setidaknya ada 6 calon perempuan.
Refleksi hasil munas ini menjadi mencemaskan kita sebagai bangsa indonesia.
Sebab peserta munas kahmi yang memilih 9 nama presidium tersebut merupakan representasi kelas menengah ke atas atau kelas terdidik di republik Indonesia.
Jika kelas terdidik saja sudah abai terhadap kesetaraan gender dan abai terhadap pentingnya representasi golongan, saya tidak bisa membayangkan bagaimana dengan masyarakat kita lainnya.
Editor : Kholid Hidayat