DUMAI, iNewsDumai.Id - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti menyebutkan tindakan banyak kasus pemaksaan maupun pelarangan penggunaan jilbab terhadap anak perempuan di lingkungan pendidikan.
">jilbab, setiap tahun pelajaran baru," ujar Retno Listyarti, Senin (14/11/2022).
Ia memberikan contoh kasus di Gunungsitoli Sumatra Utara (2022), seorang Kepala Sekolah di tempat ini, melarang seorang murid kelas VI memakai jilbab dengan alasan keseragaman karena murid sekolah ini sebagian besar beragama Kristen dan Katolik. Kasus mewajibkan jilbab di satuan pendidikan, bahkan yang beragama non Islam pun akhirnya juga mengenakan jilbab saat bersekolah, misalnya terjadi di Padang, Sumatera Barat pada tahun 2021.
Terkait melarang dan mewajibkan jilbab di satuan pendidikan, KPAI mencatat sejak 2014 sampai dengan 2022, terdapat sejumlah kasus pelarangan jilbab bagi peserta didik yang terjadi di sejumlah daerah, di antaranya adalah di Bali, ada dua SMAN di Denpasar dan satu SMPN di Singaraja yang melarang peserta didik menggunakan jilbab atau penutup kepala ke sekolah (2014); satu SMAN di Maumere Sikka, NTT (2017); satu SD Inpres di Wosi Manokwari, Papua (2019); dan terakhir salah satu SDN di Gunungsitoli, Sumatera Utara (2022).
Selain, ada juga sejumlah kasus mewajibkan jilbab bagi peserta didik terjadi pada salah satu SMPN di Genteng, Banyuwangi, jawa Timur (2017); satu SMAN di Rantah Hilir, Riau (2018); satu SDN di Karang Tengah, gunung kidul (2019); satu SMAN di Gemolong, Sragen (2020); satu SMKN di Kota Padang, Sumatera Barat (2021); satu SMAN di Banguntapan, Bantul (2022); salah satu SMPN di Jakarta Selatan (2022).
“Padahal melarang maupun mewajibkan peserta didik menggunakan jilbab merupakan pelanggaran hak-hak anak," pungkas Retno Listyarti.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, seorang siswi SMAN di Sragen berinisial S diduga mendapatkan perundungan dari guru matematikanya karena tak memakai jilbab.
Guru matematika bernama SW akhirnya minta maaf usai diadukan ke polisi oleh keluarga S. Orang tua S, AP mengadukan dugaan perundungan ini ke Polres Sragen karena anaknya mengalami tekanan psikis.
S dimarahi di depan kelas hingga akhirnya enggan berangkat ke sekolah. Usai kejadian tersebut S sempat mau untuk berangkat ke sekolah.
Namun, karena diduga dibully oleh kakak kelas, S minta dijemput pulang dan enggan masuk sekolah lagi. S juga memiliki adik yang bersekolah di tempat yang sama, adiknya pun akhirnya tidak berani sekolah juga.
Tulisan ini telah dimuat oleh Carlos Roy Fajarta di okezone.com
Editor : Kholid Hidayat
Artikel Terkait